01969 2200253 4500001002100000005001500021035002000036245006800056100001200124260002800136300003300164020001800197084001600215082001000231650000900241650001300250650001600263650002000279856002300299520131300322008004101635504002001676990001901696INLIS00000000000390320230206093942 a0010-02210001711 aGula Rasa Neoliberalisme :bPergumulan Empat Abad Industri Gula aKhudori aJakarta :bLP3ES,c2005 axxii, 188p. :bill. ;c23 cm a979-3330-31-7 a664.1 KHU g a664.1 4aGula 4aIndustri 4aPerdagangan 4aEkonomi Politik aPerpustakaan PSEKP aBuku ini menggambarkan jejak-jejak kolonialisme berikut evolusinya menjadi neokolonialisme dan neoliberalisme di industri gula selama empat abad terakhir. Pembahasan dilakukan sampai dengan kondisi pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana dinamika yang terjadi berikut aktor dan lingkungan yang melingkupinya, dibahas di dalam buku ini. Persoalan yang dihadapi kaum tani Indonesia, pada dasarnya sama dengan petani-petani di negara lain, termasuk petani di negara-negara maju. Gula, dibandingkan dengan komoditas lainnya, merupakan peninggalan Belanda dengan sistem agribisnis yang paling lengkap, mulai dari lembaga penelitian hingga pengolahan, dan sistem pemasarannya. Sayangnya, kondisi pergulaan nasional relatif tertinggal dibanding negara-negara penghasil gula saat ini, termasuk Thailand. Penulis mencoba menganalisis persoalan dari sudut pandang ekonomi-politik. Hal ini pula sebenarnya yang paling menarik dari buku ini. Mengapa? Karena memang ekonomi tidak pernah dapat dipisahkan dari politik, apalagi untuk gula yang sepanjang sejarahya selalu kental dengan nuansa politik. Demikian pula kondisinya sekarang. Ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga terjadi di seluruh dunia. Bahkan, di Uni Eropa atau Amerika Serikat, gula itulah yang paling kental dengan nafas politik.230206 g 0 ind  aIndeks hal. 185 a767/PSEKP/2023