02822 2200205 4500001002100000005001500021035002000036007000300056008003900059082001500098084001500113100001700128245015500145260004400300300000700344650003200351700001700383700002100400520219500421INLIS00000000001915320240911085100 a0010-0924000232ta240911 | | |  aARTVET1878 aARTVET18780 aYulvian Sani1 a1.4 . KONDISI KESEHATAN DAN PRODUKTIVITAS SAPI PERAH PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH /cYulvian Sani aBalai Besar Penelitian Veteriner,c2013 a30 4aKESEHATAN DAN PRODUKTIVITAS0 aIndraningsih0 aM. lndro Cahyono aLetusan Gunung Merapi pada bulan Nopember 2010 menimbulkan kerusakan lingkungan dan korban balk pada manusia maupun ternak di propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bencana letusan Gunung Merapi telah menimbulkan kerugian yang cukup signifikan akibat kematian ternak dalam jumlah besar, luka bakar, kelaparan, munculnya penyakit hewan dan penurunan produksi secara drastis. Pada evaluasi awal pasca bencana letusan Gunung Merapi dilaporkan bahwa sebanyak 1.962 ekor sapi mengalami kematian di tempat saat erupsi dan 36 ekor sesampainya di lokasi penampungan sementara. Selanjutnya pada letusan kedua angka kematian sapi menjadi meningkat menjadi kelainan pasca mati umumnya terlihat luka bakar dan mati kaku, sedangkan gejala klinis yang terlihat berupa penurunan produksi susu dan nafsu makan, diare, gejala pernapasan, pengerasan ambing, mastitis dan ambruk. Permasalahan utama setelah erupsi Gunung Merapi meliputi penurunan produksi susu diikuti dengan terhentinya kegiatan usaha koperasi susu serta tercemarnya sumber air dan pakan ternak. Penurunan produksi susu diperkirakan mencapai 60,5% setelah erupsi Gunung Merapi, akibat mastitis subklinis dan stres lingkungan.Hasil evaluasi dampak erupsi Gunung Merapi diketahui bahwa (1) satu dari 3 KPS (KPS Sarana Makmur) belum beroperasi karena dalam proses pembenahan; (2) produksi susu masih rendah berkisar antara 3 — 15 Whari/ekor; (3) mastitis subklinis mengakibatkan kesulitan dalam pemerahan, pengerasan ambing dan gumpalan susu di dalam ambing; (4) uji mastits dengan reagen IPB-1 terdeteksi sebanyak 16 dari 28 sampel (57,1%) mengalami mastitis subklinis; (5) analisis mineral susu berkisar antara 66,0 — 541,7 mg/I (Ca); 0,75 — 184,8 mg/I (Mg); dan 90,0 — 1.196,3 mg/I (P). Konsentrasi Ca dan Mg pada seluruh sampel sebanyak 28 buah berada di bawah kisaran normal dan 18 (64,3%) diantaranya mengandung kadar P di bawah normal; serta (6) produksi susu sapi perah yang diamati mengalami penurunan yang signifikan setelah terjadi letusan gunung Merapi. Secara bertahap, produksi susu di kawasan ini mulai meningkat pada bulan Januari namun belum mencapai tingkat produksi normal.